Latifah; Menyelaraskan Aqil dan Baligh, Menyiapkan Generasi Mukmin Mukallaf

 Fenomena “remaja” merupakan konstruksi sosial-budaya Barat yang relatif baru dan berbeda dengan konsep perkembangan manusia dalam Islam. Dalam praktiknya, fase ini sering menjadi periode ketidakseimbangan antara kematangan fisik (baligh) yang datang lebih awal dengan kematangan berpikir (aqil) yang datang terlambat. Artikel ini membahas teori Remagogy yang dikembangkan oleh Drs. Adriano Rusfi, Psi., M.Psi., sebagai strategi pendidikan untuk mengembalikan keselarasan aqil dan baligh, membentuk pribadi Mukmin Mukallaf yang bertanggung jawab penuh atas kehidupan agamanya, sosialnya, dan perannya di tengah masyarakat. 

                   Dalam Islam tidak mengenal adanya remaja atau yang disebut muharrik. Urutan fase perkembangan dalam Islam terdiri dari:

1.    Athfal (Anak-anak, 0-7 tahun): Pada fase ini, anak belum memiliki kemampuan untuk membedakan antara baik dan buruk. Mereka masih dalam proses belajar dan berkembang.

2.    Mumayyiz (Anak yang mulai mengerti, 7-10/12 tahun): Pada fase ini, anak mulai memiliki kemampuan untuk membedakan antara baik dan buruk, namun belum sepenuhnya bertanggung jawab atas perbuatannya.

3.    Aqil Baligh (Dewasa secara fisik dan mental, sekitar 12-15 tahun ke atas): Pada fase ini, seseorang telah mencapai kedewasaan fisik dan mental, serta bertanggung jawab penuh atas perbuatan dan keputusan mereka. Mereka diharapkan untuk menjalankan kewajiban agama dan sosial dengan baik.

Konsep remaja diperkenalkan oleh kalangan psikolog barat. Berikut tahapan perkembangan manusia berdasarkan teori Barat:

1. Prenatal (sebelum lahir)

2. Infancy (bayi, 0-1 tahun)

3. Toddlerhood (balita, 1-3 tahun)

4. Childhood (anak-anak awal, 4-12 tahun)

5. Adolescence (remaja, 13-19 tahun)

6. Adulthood (dewasa, 20 tahun ke atas)

Berdasarkan perkembangan terakhir perkembangan kedewasaan bahkan baru ada di usia 28 tahun ke atas. Remaja adalah produk barat yang mulai ada di akhir abad ke-19 yang diawali dengan munculnya Revolusi Industri di Inggris, dimana para pekerja yang merupakan orang tua (ayah dan Ibu) dipaksa bekerja selama 8 jam per hari. Orang tua tidak memiliki waktu untuk mendidik dan berinteraksi dengan anaknya. Maka dibuatlah sekolah sebagai tempat menitipkan anak yang artinya untuk mengisi waktu luang. Sekolah mengajarkan skill dan knowledge, mentransfernya ke anak-anak tanpa ada pendidikan karakter dan pendidikan yang mengaktifkan akal anak yang menumbuhkan sikap bertanggung jawab, mandiri, dan entrepreneurship pada diri anak.

Lalu muncullah problematika keremajaan yang datang bertubi-tubi, mulai dari narkoba, pergaulan bebas, kekerasan bundir, LGBT dll. Masalah tadi semakin melebar karena masalah yang diselesaikan kalah cepat dengan munculnya masalah-masalah lain yang baru atau masalah tersebut tidak diselesaikan hingga akarnya yang menyebabkan tampak dipermukaan sudah selesai tetapi sebenarnya masih menyisakan akar masalah yang suatu saat bisa mencuat. Masalah pokok pada periode remaja saat ini adalah terlalu cepatnya baligh dimana perkembangan fisik sudah matang, organ reproduksi sudah berkembang yang disertai hawa nafsu dan terlambatnya aqil atau kematangan berfikir yang disertai rasa tanggung jawab dan kemandirian. Hal-hal yang disebutkan di atas tadi yang membuat ustadz Adriano berfikir keras untuk menyusun teori remagogy untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Jika suatu saat sudah tidak ada remaja, dimana perkembangan Aqil Baligh sudah selaras, maka teori remagogy ini bisa ditinggalkan (entah kapan). 

Koindisi remaja tidak memiliki standing posisi yang jelas. Hal ini disebabkan belum selaranya antara Aqil dengan Baligh. Baligh lebih cepat Aqil yang terlambat. Jika sesuai fitrahnya idealisnya setelah anak Baligh maka Aqilnya langsung teraktivasi dan dapat berfungsi. Aqil memiliki fungsi mengontrol, aturan moral, kognitif, berfikir, mengetahui tujuan hidup, kedewasaan, memenej/mengatur. Sedangkan Baligh berfungsi mengarahkan, emosi, passion, hawa nafsu, instink, pubertas dll. Pada periode remaja: high drive less control (semangat/energi tinggi tapi kurang kontrol diri (prilaku dan emosi)), high passion less moral (memiliki antusias tinggi tanpa disertai moral dan etika), high emotion less cognition (emosi yang kuat tanpa disertai penggunaan pemikiran rasional). Remaja cenderung labil, galau mudah marah dan stress, tidak memiliki posisi social yang jelas dan sering mengalami krisis identitas. Hal-hal itulah yang melatar belakangi munculnya berbagai problem remaja. 

Dalam Islam konsep perkembangan sangat indah karena sesuai dengan fitrah manusia. Saat anak memasuki masa Aqil Baligh maka dia sudah mandiri secara umum dan juga secara finansial, bertanggung jawab, cakap sosial dan memiliki kemampuan menyelesaikan berbagai permasalahan hidupnya. Pada masa Rasulullah Saw asabiqunal awalun terdiri dari beberapa pemuda, Usamah bin Zaid menjadi panglima perang di usia 17-18 tahun, para pemuda yang membuat ikrar sumpah pemuda berusia pada kisaran 17-20 tahun. Dan yang menarik suku-suku pedalaman yang tidak terpengaruh mordenitas seperti Suku Baduy, Suku Anak Dalam tidak mengenal istilah remaja. Aqil Baligh adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Memasuki masa Aqil Baligh maka sudah sepenuhnya dewasa, matang fisik dan mental, mandiri, bertanggung jawab, siap memikul amanah, dan menjadi bagian solusi bukan masalah. Sebagai perbandingan berikut perbedaan remaja dan pemuda:

Teori Remagogy: Pendekatan Pendidikan Islami untuk Menyelaraskan Aqil dan Baligh
Untuk menghadapi problematika remaja maka disusunlah teori remagogy yang bertujuan menyelesaikan permasalahan tersebut. “Adalah aneh kita begitu bersemangatnya mendidik anak-anak kita dengan sejumlah taklif syar’ie, tapi kita tak mendidiknya menjadi mukallaf.” Jadi tujuan utama pendidikan bukan hanya mengajarkan anak hukum-hukum syari’at tapi menghantarkan anak menjadi pribadi-pribadi mukallaf yang siap menjalankan syariat Islam Mukmin Mukallaf. Semaikan kesadaran pada para remaja, fokus pada nilai dan makna, bangga menjadi dewasa, beri semangat denagn kisah-kisah para pemuda seperti Usamah bin Zaid, Al Fatih dll, tanamkan rasa tanggung jawab bahwa mereka sudah mukallaf siap menanggung seluruh perbuatannya baik pahala maupun dosa, dan sadarkan tentang masa depan ummat Islam dan bangsa Indonesia yang ada di pundak mereka, jika mereka tidak mau mengambil peran sebagai pemuda maka lemahlah umat dan bangsa ini. 

Langkah berikutnya adalah menghadirkan peran orang tua, guru dan masyarakat. Peran paling utama ada pada orang tua, karena pendidikan anak-anak adalah tanggung jawab orang tuanya. Sedangkan peran pendukung adalah guru/sekolah dan lingkungan masyarakat. Peran orang tua di rumah adalah menjadikan rumah penuh cinta dan kehangatan dan sebagai pengambil keputusan. Sekolah berperan sebagai kawah Candradimuka dan pendapat ahli. Berikut gambaran peran orang tua dan sekolah:

Teori Remagogy: Pendekatan Pendidikan Islami untuk Menyelaraskan Aqil dan Baligh
Apa saja yang harus disiapkan orang tua dan guru? Yang pertama adalah menyiapkan keyakinan mereka tentang kondisi saat ini, yaitu:

•      Kondisi remaja saat ini sudah kritis dan darurat

•      Usia 0-7 usia anak dimanja, usia 7-12 adalah usia penempaan (0-7 tahun anak diajarkan ego, individualis dan kepemilikan. 7-12 tahun ajarkan tanggung jawab, berbagi, mandiri dll) Sahabat Ali r.a. mengajarkan bahwa di usia 0-7 tahun anak adalah raja, penuhi anak dengan kasih sayang. Pada usia 7-12 tahun anak adalah tawanan, beri aturan, tanggung jawab, ajar kemandirian, pada usia 12 tahun keatas anak adala teman, teman diskusi, teman tukar fikiran dll.  

•      Allah ciptakan manusia sesuai dengan potensi, yang dapat menyelesaikan masalah dan tantangan jaman Allah berikan bersamaan dengan kemampuan manusia untuk menyelesaikannya.

•      Anak itu kuat dan berdaya, latih anak untuk berfikir menyelesaikan masalahnya dan bertanggung jawab serta mandiri.

•      Allah itu hidup, berdiri dan mengurusi makhluk-Nya

•      Kehidupan dan segala isi bumi telah Allah jinakkan untuk manusia

•      Hidup itu tetap seindah dulu

•      Kebenaran selalu mayoritas dan eksis

•      Ada nafsu,syaithan dan maksiat…Tapi ada akal, fitrah, nurani, hidayah, ilham, malaikat, doa dll.

Setelah keyakinan sudah dimiliki langkah kedua adalah menghadirkan sosok Ayah, dengan cara:

•      Ayah adalah sang pendidik terbaik, Ibu sebagai guru yang mengatur teknis pendidikan sedangkan Ayah sebagai kepala sekolah yang merumuskan jati diri, kurikulum dan strategi pendidikan

•      Ayah penanggung jawab kelak di hadapan Allah (seorang anak perempuan yang sudah Aqil Baligh tapi tidak menutup aurat, maka dosanya tidak hanya dipikul si anak tapi juga ayahnya).

•      Kehadiran Ayah bukan hanya sekedar kuantitas, tapi kualitas kehadirannya.

•      Ayah sebagai konsultan Bunda.

•      Dalam Al-Qur’an banyak sosok Ayah yang telah diilhami parenting, yaitu Ali Imran, Ibrahim, Zakaria dll.

•      Hartanya adalah kekuatannya dan wibawanya adalah modalitasnya

•      Sang anak adalah keturunan dan ahli warisnya

Setelah peran Ayah yang optimal,langkah ketiga adalah di tengah realita membangun kesadaran bahwa “Di atas realitas alami, kita didik generasi Islami”. Mendidik generasi Islam dalam kehidupan sesungguhnya, bukan di simulasi, laboratorium, atau representasi kehidupan. Rumah dan sekolah sebagai bagian dari realita seutuhnya.

Langkah keempat, adalah langkah penting selanjutnya yaitu menerapkan pendidikan yang berani dan tega. Jaman memang sudah berubah, namun berubah lebih keras, di luar sana makin tak aman, namun anak jangan disembunyikan (jadikan anak memiliki imunitas bukan anak yang steril). Kita harus mewariskan jalan sukses untuk generasi muda. Dalam mendidik anak jadilah orang tua yang hadirkan sikap si Raja Tega. Jika tak sanggup, serahkan ke sekolah.

Langkah kelima, melatih anak memecahkan masalah. Anak bukan makhluk bodoh, Allah telah memberikan banyak potensi pada dirinya. Tahapan yang harus dilakukan yaitu, jangan sembunyikan masalah kita dari anak-anak, Orang Tua bisa saling berbagi masalah dengan anak. Terkadang muncul ide-ide brilliant yang out of the box dari hasil pemikiran mereka. Dengan melatih anak memecahkan masalah secara tidak langsung dapat menekan percepatan baligh. Bawa masalah kehidupan ke rumah, rajinlah berdiskusi dengan mereka dan ajarkan problem solvingnya.

Langkah keenam, melatih kemandirian anak dengan cara, kembangkan sikap from dependent to interdependent, yaitu dari awalnya bergantung menjadi saling bergantung, latih kemandirian anak, biarkan mereka menjadi diri sendiri, ajakan cara mengaktualisasi potensi diri, anak menjadi unik dan gue banget, memiliki visi dan misi, berbasis pada kekuatan sendiri, memiliki personal bargainingdan membangun entrepreneurship.

Langkah ketujuh, melatih kecakapan sosial anak, melalui membiasakan beromunikasi produktif , buiasa bekerjasama, mengembangkan jiwa kepemimpinan, dimotivasi untuk mengikuti organisasi, dilatih manajemen konflik, mulai dari organisasi rumah dan dikembangkan hingga organisasi formal seperti OMIS : Organisasi Murid Intra Sekolah.

Hal yang perlu diperhatikan sebelum anak memasuki Aqil Baligh ingatkan mereka bahwa saat Baligh nanti maka kamu harus menghidupi diri sendiri, Orang Tua harus belajar tega dengan cara jangan memenuhi 100% permintaan anak, Ajarkan anak untuk berbisnis, dimulai dengan bisnis sederhana yaitu berdagang di rumah diawali dengan mencari uang jajan sendiri. Membiasakan anak memiliki amanah pekerjaan di rumah seperti menyapu, mengepel, memasak nasi dll.  

Hal-hal apa yang bisa kita lakukan untuk memperlambal Baligh dan mempercepat Aqil:

1.    Mendidik rasa tanggung jawab

Yakini bahwa anak tidak lemah, memberikan pembelajaran konsekuensi tidak sekedar hukuman dan ganjaran. Membiasakan anak merasakan akibat perbuatannya dan diperbolehkan membalas yang setimpal, berikan kebebasan, serahkan amanah dan tanggung jawab.

2.    Mendidik kemampuan akal fikiran

Ajarkan anak memecahkan masalah. Ajak anak mengambil keputusan dan memberikan masukan-masukan di rumah.

3.    Membangun kemandirian, termasuk kemandirian finansial.

4.    Mengajarkan kecakapan sosial

Menegakkan kecakapan sosial, salah satunya adalah mengajak anak mengikuti kegiatan kepramukaan/kepanduan.

5.    Mengajarkan entrepreneurship pada anak

Entrepreneurship adalah ilmu hidup sebagaimana yang dilakukan Bunda Hajar saat kehabisan perbekalan dan air minum. Dengan Hajarian Entrepreneurship anak diajarkan untuk memiliki nyali, bertanggung jawab, memiliki visi jauh ke depan, optimis, konsistensi, pushing power, kesederhanaan dan income yang tak terduga.

Yang dimaksud Consequential Learning atau pembelajaran konsekuensi adalah sebuah metode pembelajaran pada manusia agar manusia merasakan secara langsung dan determinative akibat dari perbuatannya dan bertanggung jawab terhadap konsekuensinya, dengan cara membiarkannya memikul resiko alami atau memberikannya resiko logis-linier, sehingga manusia dapat memetik hikmah dan pelajaran atasnya untuk melakukan perubahan dan/atau penguatan prilaku.

Intinya kita sebagai Orang tua dan guru harus terus menerus mengedukasi diri, sehingga memiliki pemikiran dan konsep yang benar tentang perkembangan anak dan dapat menghantarkan anak-anak biologis maupun anak ideologis mengetahui potensinya untuk menjadi pribadi Mukmin Mukallaf yang siap menjalankan ajaran Islam dan menegakkan Islam di bumi ini. Aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin. (Latifah)